Bumi Pertiwi, khususnya pulau andalas, tak pernah luput dari cobaan hidrometeorologi. Fenomena tahunan yang kian ekstrem—seperti yang terjadi baru-baru ini—telah memperlihatkan betapa rapuhnya ekosistem dan sistem tata kelola air di sana. Banjir Sumatera bukan sekadar air bah yang meluap; ia adalah cerminan dari kegagalan komprehensif, mulai dari analisis risiko yang tumpul, minimnya pengetahuan publik yang tepat, hingga taktik mitigasi yang seolah mandek di tempat.
I. Diagnosis yang Tumpul : Mengapa Banjir Sumatera Terus Berulang?
Setiap kali musim hujan tiba, kita disuguhkan dengan pemandangan pilu: ribuan rumah terendam, akses jalan terputus, dan mata pencaharian yang luluh lantak. Analisis standar selalu menyalahkan curah hujan ekstrem, namun ini hanya gejala, bukan akar masalah. Krisis utama terletak pada analisis spasial dan tata ruang yang diabaikan.
Pengalihan fungsi lahan, terutama masifnya deforestasi untuk perkebunan monokultur dan pertambangan, telah merampas fungsi alami hutan sebagai spons raksasa penyerap air. Ketika lereng-lereng bukit kehilangan vegetasi penahan, air hujan langsung meluncur deras membawa material. Fenomena ini, yang sering kita saksikan, menjelaskan mengapa banjir Sumatera kini lebih cepat datang, lebih tinggi volumenya, dan membawa serta lumpur tebal yang memperparah sedimentasi.
Sebagai perbandingan, di belahan lain nusantara, isu tanggap bencana juga menjadi perhatian. Berita terbaru dari pulau Dewata mungkin lebih fokus pada pariwisata, tetapi penting juga untuk sesekali menyimak kabar Lombok hari ini yang mungkin juga menghadapi tantangan iklim serupa, meski dengan karakter geografis berbeda.
II. Gempuran Infrastruktur vs Daya Dukung Lingkungan
Di banyak wilayah, pembangunan infrastruktur tampak berlari kencang, namun tanpa disertai telaah mendalam terhadap daya dukung lingkungan. Normalisasi sungai, alih-alih menyelesaikan masalah, kerap kali hanya memindahkan bencana ke hilir. Kanal-kanal yang dipersempit dan tanggul yang didesain secara serampangan hanya mampu menampung debit air normal.
Ketika volume air mencapai puncaknya—sebuah skenario yang seharusnya sudah diantisipasi dalam studi kelayakan—struktur tersebut menjadi bumerang. Inilah yang menyebabkan efek domino; satu tanggul jebol, langsung disusul kehancuran lain yang memperburuk musibah. Jelas sekali bahwa tantangan banjir Sumatera memerlukan reorientasi total dari solusi hard engineering (konstruksi) menuju soft engineering (berbasis alam).
III. Defisit Pengetahuan : Siaga Dini dan Mitigasi Berbasis Komunitas
Selain krisis analisis teknis, terdapat pula defisit signifikan dalam pengetahuan di tingkat tapak. Peringatan dini dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) seringkali dianggap sekadar formalitas, tidak diterjemahkan menjadi aksi mitigasi konkret oleh masyarakat. Padahal, mitigasi bencana harus menjadi kurikulum hidup.
- Minimnya Early Warning System Lokal : Sinyal bahaya seringkali hanya berupa imbauan dari perangkat desa, bukan sistem peringatan terintegrasi yang memanfaatkan teknologi.
- Ketidakpahaman tentang Topografi Risiko : Banyak warga yang tidak menyadari bahwa rumah mereka berada di zona flushing (lintasan air) atau bekas daerah aliran sungai (DAS) kuno.
- Edukasi yang Mandek : Program simulasi dan edukasi tanggap bencana masih bersifat musiman.
Perlu dicanangkan program terstruktur agar setiap individu memahami bahwa berhadapan dengan banjir Sumatera bukan hanya tugas pemerintah, tetapi tanggung jawab kolektif. Pengetahuan ini mencakup cara membuat karung pasir yang efektif, menentukan rute evakuasi yang aman, hingga memahami siklus alam di sekitar mereka.
IV. Aksi Unik : Membangkitkan Kearifan Lokal dan Rekayasa Alam
Untuk keluar dari jerat masalah yang terus berputar ini, diperlukan solusi yang bervariasi dan unik, meninggalkan pendekatan usang.
1. Revitalisasi Ekosistem Sungai (Naturalisasi)
Alih-alih menyempitkan, sungai harus dinaturalisasi dengan memberikan ruang meander (kelokan alami) dan floodplain (dataran banjir) yang luas. Di sinilah air dapat meluap dan terserap secara perlahan, mengurangi kecepatan aliran di hilir. Ini adalah taktik canggih yang memanfaatkan alam untuk menanggulangi banjir Sumatera secara permanen.
2. Membangun Infrastruktur Berpori
Pembangunan jalan dan pemukiman harus beralih ke material yang permeable (berpori). Penggunaan paving block berpori dan sumur resapan (biopori) wajib diimplementasikan secara massal, terutama di wilayah perkotaan. Tujuannya adalah memastikan air hujan dapat kembali ke perut bumi, bukan mengalir deras ke sistem drainase yang sudah jenuh.
3. Reformasi Tata Ruang Dengan Pendekatan Risiko
Peta tata ruang harus berdasarkan risiko bencana, bukan sekadar kepentingan ekonomi atau politik. Kawasan yang secara historis menjadi daerah langganan banjir Sumatera harus dipertimbangkan untuk relokasi atau dialihfungsikan menjadi ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai kolam retensi alami. Keputusan ini, meskipun berat, adalah investasi jangka panjang untuk keselamatan warga.
Penutup : Menatap Masa Depan yang Lebih Tangguh
Banjir Sumatera adalah panggilan darurat untuk introspeksi. Krisis ini menuntut lebih dari sekadar bantuan pascabencana dan ia menuntut pembenahan radikal pada cara kita menganalisis, memahami, dan berinteraksi dengan lingkungan. Jika kita gagal dalam melakukan transformasi ini yaitu dengan terus mengulang kesalahan yang sama maka bencana yang terjadi tahun ini hanyalah prolog dari krisis yang jauh lebih masif di masa depan.
